KOMPAS.com – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Senin (5/10/2020), telah mengetok palu tanda disahkannya Omnibus Law RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang. Pengesahan tersebut dilakukan dalam Rapat Paripurna ke-7 masa persidangan I 2020-2021 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Pengesahan RUU Cipta Kerja ini bersamaan dengan penutupan masa sidang pertama yang dipercepat dari yang direncanakan, pada 8 Oktober 2020 menjadi 5 Oktober 2020. Di sisi lain, pengesahan tersebut mendapat persetujuan dari berbagai elemen masyarakat. Hal itu disebabkan Omnibus Law UU Cipta Kerja, yang berdampak buruk bagi tenaga kerja atau buruh.
Apa itu Omnibus Law?
Istilah omnibus law pertama kali muncul dalam pidato pertama Joko Widodo setelah dilantik sebagai Presiden RI untuk kedua kalinya, Minggu (20/10/2019). Dalam pidatonya, Jokowi menyinggung sebuah konsep hukum undang-undangan yang disebut omnibus law. Saat itu, Jokowi mengungkapkan rencananya mengajak DPR untuk membahas dua undang-undang yang akan menjadi omnibus law. Pertama, UU Cipta Lapangan Kerja, dan UU Pemberdayaan UMKM. Jokowi menyebutkan, masing-masing UU tersebut akan menjadi omnibus law, yaitu satu UU yang sekaligus merevisi beberapa, atau bahkan puluhan UU. Diberitakan Kompas.com, Selasa (22/10/2019), Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Savitri menjelaskan, omnibus law merupakan sebuah UU yang dibuat untuk menyasar isu besar yang ada di suatu negara. Undang-undang ini topi untuk merampingkan regulasi dari segi jumlah,
Isi Omnibus Law Cipta Kerja Konsep omnibus law yang dikemukakan oleh Presiden Jokowi banyak berkaitan dengan bidang kerja pemerintah di sektor ekonomi. Diberitakan Kompas.com, 21 Januari 2020, pada Januari 2020, ada dua omnibus law yang diajukan pemerintah, yaitu Cipta Kerja dan Perpajakan. Secara total, ada 11 klaster yang menjadi pembahasan dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja, yaitu: Penyederhanaan perizinan tanah Persyaratan investasi Ketenagakerjaan Kemudahan dan perlindungan UMKM Kemudahan berusaha mendukung riset dan inovasi Administrasi pemerintahan Pengenaan sanksi Pengendalian lahan Kemudahan proyek pemerintah Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)
Sementara itu, diberitakan Kompas.com, Selasa (6/10/2020) UU Cipta Kerja, yang baru saja disahkan, terdiri atas 15 bab dan 174 pasal. Di dalamnya terdapat berbagai hal, mulai dari ketenagakerjaan hingga lingkungan hidup. Isi lengkap RUU Cipta Kerja (kini sudah disahkan menjadi UU Cipta Kerja) dapat diunduh di laman-laman berikut: RUU Cipta Kerja (Baleg DPR PDF) RUU Cipta Kerja (Google Drive PDF) Surat Presiden Jokowi untuk pengajuan RUU Cipta Kerja (PDF) Daftar Inventarisasi Masalah atau DIM (PDF I) Daftar Inventarisasi Masalah atau DIM (PDF II)
Dampak bagi buruh
Kompas.com mencatat beberapa pasal-pasal bermasalah dan kontroversial dalam Bab IV tentang Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja. Di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Kontrak tanpa batas (Pasal 59) UU
Cipta Kerja sesuai aturan mengenai jangka waktu pekerja tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak. Pasal 59 ayat (4) UU Cipta Kerja menyebutkan, ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu dan batas waktu perpanjangan waktu yang diatur diatur dengan Peraturan Pemerintah. Sebelumnya, UU Ketenagakerjaan pembantuan PKWT dapat diadakan lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun. Ketentuan baru yang memberikan kekuasaan dan keleluasaan pengusaha untuk mempertahankan status pekerja tanpa batas.
2. Hari libur dipangkas (Pasal 79)
Hak pekerja mendapatkan hari libur dua hari dalam satu pekan yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan, dipangkas. Pasal 79 ayat (2) huruf (b) pekerjaa, pekerja wajib diberikan waktu istirahat mingguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu pekan. Selain itu, Pasal 79 juga membantu kewajiban perusahaan memberikan istirahat panjang dua bulan bagi pekerja yang telah bekerja selama enam tahun berturut-turut dan mewakili kelipatan masa kerja enam tahun. Pasal 79 ayat (3) hanya menyediakan bantuan pajak tahunan paling sedikit 12 hari kerja setelah pekerja bekerja selama 12 bulan terus menerus. Pasal 79 Ayat (4) menyatakan, pelaksanaan cuti tahunan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Kemudian Pasal 79 ayat (5) menyebut,
3. Aturan soal pengupahan diganti (Pasal 88)
UU Cipta Kerja mengubah kebijakan pengupahan pekerja. Pasal 88 Ayat (3) yang terlihat pada Bab Ketenagakerjaan hanya menyebut tujuh kebijakan pengupahan yang sebelumnya ada 11 dalam UU Ketenagakerjaan. Tujuh kebijakan itu, yakni upah minimum; struktur dan skala upah; upah kerja lembur; upah tidak masuk kerja dan / atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan tertentu; bentuk dan cara pembayaran upah; hal-hal yang dapat dihitung dengan upah; dan upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya. Beberapa kebijakan yang terkait dengan pengupahan yang dihilangkan melalui UU Cipta Kerja tersebut, antara lain upah karena menjalankan hak pelaksanaan pekerjaan, upah untuk pembayaran pesangon, dan upah untuk perhitungan pajak. Pasal 88 Ayat (4) kemudian menyatakan, “
4. Sanksi tidak bayar upah hapus (Pasal 91)
Mengenai sanksi bagi pengusaha yang tidak membayar upah sesuai ketentuan Penghapusan lewat UU Cipta Kerja. Pasal 91 ayat (1) UU Ketenagakerjaan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja / buruh / serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan-undangan yang berlaku. Kemudian Pasal 91 ayat (2) menyatakan, dalam hal kesepakatan yang dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja / buruh menurut peraturan-undangan yang berlaku . Ketentuan berlaku pada Pasal 91, aturan tentang larangan membayar upah di bawah ketentuan juga pada Pasal 90 UU Ketenagakerjaan. Namun dalam UU Cipta Kerja,
5. Hak memohon PHK dihapus (Pasal 169)
UU Cipta Kerja hak pekerja / buruh mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja (PHK) jika merasa dirugikan perusahaan. Pasal 169 ayat (1) UU Ketenagakerjaan kerja, pekerja / buruh dapat mengajukan PHK kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika, di antaranya menganiaya, menghina secara kasar, atau mengancam. Pengajuan PHK juga bisa dilakukan jika tidak ada upah tepat waktu selama tiga bulan berturut-turut atau lebih. Ketentuan itu diikuti ayat (2) yang menyatakan pekerja akan mendapatkan uang pesangon dua kali, uang penghargaan masa kerja satu kali, dan uang penggantian hak diatur dalam Pasal 156. Namun, Pasal 169 ayat (3) menyebut, jika perusahaan tidak terbukti melakukan perbuatan seperti yang diadukan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, maka hak tersebut tidak akan mendapatkan pekerja. Pasal 169 dihapus total dalam UU Cipta Kerja. (apry foto by :ayrton)
Sumber berita dan infografis : https://www.kompas.com/